Untuk
apa sekolah jika intelektualitas tidak dikedepankan. Untuk apa kuliah jika
ujung-ujungnya cuma tawuran dan untuk apa berdemo di tengah jalan kalau
berujung bentrokan. Inilah yang terjadi dan menjadi fenomena sebagian pelajar
kalangan menengah ataupun mereka para mahasiswa. Karena kasus tawuran ini maka
kerap kali fasilitas di gedung perkuliahan menjadi rusak.
ilustrasi |
Terkait dengan masalah tingkat intelejensia masing-masing individu, para pelaku tawuran pelajar ini sebenarnya merupakan hal yang kompleks dan tidak semata-mata mereka kekurangan faktor tersebut. melihat dari kasus awal tawuran maka biasanya ada seorang yang biasanya berperan dalam memanaskan suasana dan mempengaruhi orang lain yang dianggap satu paham dengannya. Jika satu kelompok berisikan 30 orang dan satu orang dari kelompok tersebut berhasil mempengaruhi 25 orang lainnya maka 4 orang dalam kelompok tersebut biasanya akan ikut-ikutan. Dari hal tersebut maka tingkat intelejensia menjadi faktor nomor sekian karena ada rasa terkait dengan hubungan kelompok tersebut.
Dalam
hal yang lebih luas maka seringkali lembaga pendidikan tidak secara tegas
menindak pelaku tawuran pelajar ini sehingga terkesan diam. Jika ini
berlangsung terus maka fenomena ini tetap akan berlanjut hingga ke anak cucu
dan menjadi budaya terus-menerus tanpa berkesudahan. Merosotnya perhatian atas
lembaga pendidikan kepada para peserta didiknya menjadi aspek yang perlu
menjadi perhatian ekstra.
Bukankah
identitas sebagai pelajar adalah belajar dan berprestasi secara positif, namun
nyatanya ini menjadi esensi dasar yang dilupakan oleh sebagian mereka pelaku
tawuran pelajar. Bagi mereka tawuran malah justru menjadi hiburan untuk
membuktikan eksistensi dan kekuatan mereka dengan cara yang sangat salah. Ini
sekaligus menjadi hal yang sangat memprihatinkan, berita seputar tawuran
pelajar kerap lalu-lalang di berbagai media dan menghiasi benak masyarakat sehingga
secara spontan menghasilkan isu betapa bobroknya pendidikan di Indonesia.
Tidak
habis pikir, sekelompok mahasiswa fakultas A yang dengan semangat
berkobar-kobar menyerang sekelompok mahasiswa fakultas B walau masih dalam satu
kampus. Fenomena ini sudah menjadi bahan pembicaraan yang hanya menyebabkan
emosi bagi kalangan yang kadang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
tersebut atau dalam bahasa kasarnya “ditaruh dimana otak mereka itu”. Apakah
pendidikan agama dan kewarganegaraan perlu dihapuskan dalam kurikulum karena
tidak berdampak baik bagi pelajar? Ataukah sebenarnya ada faktor lain yang
menyebabkan tawuran pelajar menjadi tren akhir akhir ini?
Seiring
dengan perilaku liar para pelajar maka saat itu juga ilmu yang mereka pelajari
tidak diterapkan secara nyata. Merosotnya nilai moral dan intelektualitas ini dibayangi
dengan nilai kekerasan dan kehilangan identitas mereka sebagai pelajar yang
konon katanya merupakan generasi penerus bangsa. Jika seperti ini generasi
penerus bangsanya maka mau jadi apa Indonesia besok?
Komentar
Posting Komentar
BAGAIMANA TANGGAPAN ANDA?