Langsung ke konten utama

Krisis Moral, Maraknya Kasus Pelecehan Terhadap Kaum Perempuan

Citra perempuan bagi beberapa orang mungkin berbeda namun yang pasti keberadaan mereka merupakan bagian dari yang terpenting atas kehidupan manusia. Tanpa perempuan bisa dikatakan tidak ada proses keberlangsungan hidup umat manusia, naasnya kerap kali mereka para perempuan kerap tidak dihargai dan dilecehkan oleh lawan jenisnya dan ini nyata dapat ditemui dikehidupan di sekitar kita.
ilustrasi
Masalah sepele yang kerap menjadi hal yang berlalu begitu saja adalah masalah pandangan terhadap citra perempuan dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang menganggap perempuan adalah sosok penghias kehidupan dengan parasnya yang cantik, dandanannya yang memikat mata serta soleknya yang mampu memikat hati para pria. Pandangan seperti ini sebenarnya tidak lebih dari mengobjekkan perempuan yang secara tidak sadar maupun sadar dianalogikan terhadap suatu benda yang indah. Faktanya kerap kali para pria dipinggir jalan bersiul atau menggoda sewaktu ada perempuan yang lewat di depan mereka “ suit-suit, mbak nya cantik deh. Mampir dunk”.
Lain lagi masalah perempuan saat mereka “harus” bekerja sebagai penghibur (bukan PSK) di suatu klub malam, parahnya lagi citra perempuan seakan dibuat “miring” oleh para kapitalis demi meraup keuntungan dan memikat tamu atau konsumen. Contoh paling nyata dalam hal  ini adalah SPG (Sales Promotion Girls), umbrella girl ataupun pelayan pengantar minuman di suatu kafe atau klub malam. Menjelaskan fenomena ini sama saja kita bertanya tentang “apakah mungkin seorang pria yang berstatus sebagai pemuka agama menikah dengan perempuan pegawai klub malam?” Citra perempuan yang tersebutkan tadi sebenarnya dipandang hanya sekilas saja atau nampak dari luarnya saja sehingga kesan “wanita malam” membayangi kehidupan mereka, parahnya lagi mereka di cap sebagai perempuan murahan, gampangan dan hobi nge-seks.
Kisah lain adalah seputar para perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di berbagai daerah, faktanya memang sebagian dari mereka dulunya tidak mengenyam dunia pendidikan yang cukup dan dari asumsi inilah seringkali muncul tindakan pelecehan atas majikan kepada para pembantunya. Sebagai contoh adalah “Siti…tolong belikan rokok di warung sebelah ya? Ga usah pakai lama” dari contoh kalimat tersebut sudah dapat dijelaskan bahwa sosok Siti tidak lebih dari seorang perempuan pesuruh yang harus menurut kepada majikan walaupun mereka juga digaji.
 Dari rangkain beberapa contoh di atas kita bisa memetik nilai bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadikan perempuan tidak mendapatkan “porsi” yang ideal di mata para pria:
·          Tingkat pendidikan
Ini menjelaskan fenomena bahwa perempuan yang tidak mempunyai pendidikan yang cukup hanya akan jadi konco wingking, pesuruh atupun orang yang menemani suami saat berada di ranjang setelah sang suami lelah bekerja.
·          Uang
Karena rata-rata budaya kita masih menganut pria yang harus menafkahi keluarganya maka secara tidak langsung posisi perempuan akan lemah secara materi dan kekuasaan menentukan kebijakan rumah tangga. Dalam hal ini tidak ada pilihan lain kecuali nurut dengan suami.
·          Budaya patriarki
Budaya ini mengedepankan laki-laki sebagai kaum yang mendominasi di segala bidang ketimbang perempuan. Secara terus menerus konsep dan citra perempuan dapat digiring dan dibentuk oleh laki-laki yang mempunyai kekuatan untuk itu sehingga terjadilah wanita sebagai bahan objek laki-laki.
·          Pribadi
Ini merupakan faktor dari dalam diri si perempuan tersebut yang secara sadar meletakkan harga dirinya dibawah laki-laki. Namun terkadang hal ini juga dipicuu oleh rentetan 3 faktor di atas yang menyebabkan rasa keterpaksaan perempuan melakukan suatu hal yang dianggap murahan, misalnya saja: PSK, salon plus-plus, ayam kampus ataupun kegiatan sepele lain seperti berpakaian seksi untuk memikat para pria.

Secara alamiah perempuan memang tidak lebih mempunyai kekuatan lebih dari segi fisik ketimbang para laki-laki namun ini bukan menjadi alasan atas beberapa fenomena pelecehan terhadap kaum perempuan yang sudah terjadi di sekitar kita. Selama tahun 2011 dari Bulan Januari hingga Oktober terjadi 21 kasus pemerkosaan di Gresik,Jawa Timur. Ini Ini berarti rata-rata dalam setiap bulan setidaknya terjadi dua kasus pemerkosaan. Komnas perempuan juga mencatat pada 2011 telah dilaporkan adanya 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan 3.753 kasus perkosaan. Dari semua kasus tersebut perkosaan dilakukan oleh kaum laki-laki.
Hal ini sangat memperihatinkan maka guna mengatasi hal tersebut adalah perempuan akan lebih baik membekali diri mereka dengan pendidikan, semangat dan keberanian sehingga perjuangan emansipasi tidak akan berakhir begitu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

High Context Dan Low Context

Secara umum, masyarakat di Indonesia sangat erat hubungannya dengan high context yang sebenarnya dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh budaya sopan santun dalam berbicara dan berusaha menjaga sikap dalam bergaul menjadi aspek penting dalam terciptanya high context.

Istilah Njawani; Filosofi Pedoman Perilaku

Filosofi Njawani dan Falsafah Jawa  - Diartikan sebagai orang Jawa yang hidup dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran leluhurnya. Banyak sekali orang yang berasal dari suku Jawa masih memakai tuntunan tersebut untuk bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain yang sesama suku ataupun berbeda budaya. Pedoman hidup untuk berperilaku, berpikir serta bagaimana cara untuk mencapai tujuan masyarakat Jawa pada umumnya diarahkan untuk tidak melukai sesama bahkan mengajak mereka untuk selaras.

Komunikasi Konvergen ala WILBUR SCHRAMM

Dia membuat serangkaian model komunikasi dimulai dari model komunikasi manusia yang sederhana sampai model yang rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu.